Peran DPRD dalam Percepatan Program Hutan Kemasyarakatan

Latar Belakang
Program pemberdayaan masyarakat desa hutan merupakan salah satu program terobosan strategis yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan memberikan akses yang luas kepada masyarakat sekitar hutan untuk mengelola sumber daya hutan. Namun demikian, terobosan tersebut dinilai belum cukup efektif. Berdasarkan hasil penelitian dari Partnership for Governance Reform (2011 Dari target capaian nasional sebesar 500.000 ha/tahun untuk Hutan Kemasyarakatan (HKM) hanya tercapai rata-rata 10%/tahun (dihitung sejak tahun 2007). Hal ini dikarenakan pelaksanaan program tersebut masih terkendala oleh beberapa permasalahan antara lain: ketidaksinkronan kebijakan pusat daerah, ketidakefisienan tata laksana perizinan dan masih terbatasnya anggaran.
A. Urgensi Program Hutan Kemasyarakatan
Model kehutanan yang membuka partisipasi masyarakat desa dalam pengelolaan hutan ini dipandang sebagai alternatif strategis dalam menangani berbagai persoalan kehutanan seperti konflik teritorial, kerusakan hutan, keamanan hutan, kemiskinan dan berbagai problem lingkungan lainnya. Program pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Indonesia dipandang mengalami kemajuan yang sangat berarti terutama semenjak diterbitkannya PP No. 6/ 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan, yang di dalamnya memuat Hutan Kemasyarakatan (HKM), Hutan Desa (HD) sebagai skema pemberdayaan masyarakat desa hutan. Program pemberdayaan masyarakat (PM ) desa hutan menitikberatkan pada gagasan pemberian hak akses masyarakat terhadap sumber daya hutan yang ada di sekitarnya. Rasa memiliki masyarakat terhadap sumber daya hutan meningkat dengan hak akses ini sehingga pada akhirnya kelestarian hutan terjaga. Dengan hak akses masyarakat juga diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraannya melalui berbagai skema pemanfaatan hasil hutan,baik yang berupa kayu maupun non kayu. Persoalannya adalah program PM sejauh ini belum terimplementasi secara efektif. Hal ini tercermin dari rendahnya pencapaian target nasional dalam penetapan areal kerja HKM sebesar 500.000 ha/ tahun. Sejauh ini pencapaian target tahunan penetapan areal kerja HKM rata-rata hanya 10% (dihitung sejak 2007, yaitu pada saat pencanangan program nasional HKM). Sebagai contoh, untuk HKM, target pencadangan areal sampai dengan Desember 2010 sebesar 800.000 ha, namun jumlah areal yang berhasil dicadangkan baru mencapai 80.395 ha. Berbagai kendala baik di tingkat kebijakan, pengelolaan dan kelembagaan memiliki kontribusi yang besar terhadap rendahnya tingkat pencapaian target tersebut.
B. Koordinasi Pelaksanaan Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan
Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Kabupaten Sumbawa pada tahun 2011 sasarannya diarahkan untuk dapat meningkatkan potensi sumber daya hutan kayu dan non kayu dilakukan melalui optimalisasi PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dengan melaksanakan pengendalian dan penertiban administrasi hasil hutan dan iuran hasil hutan ke 7 KPH, Cruising IPKTM, pertemuan dengan para pemegang izin hasil hutan serta melaksanakan pembinaan, penertiban dan evaluasi terhadap hasil hutan dan iuran hasil hutan. Selanjutnya pada tahun 2013 terus melakukan upaya reboisasi dan rehabilitasi terhadap kawasan hutan yang telah terdegradasi sehingga pemerintah daerah menetapkan pola rehabilitasi hutan dan lahan pada lahan kritis di dalam dan diluar kawasan hutan. Pada tahun 2014 pemerintah daerah mengarahkan pada pemantapan pemanfaatan potensi sumberdaya hutan melalui kegiatan perencanaan dan pengembangan Hutan Kemasyarakatan di lokasi perizinan HKM kecamatan Empang dan Perizinan Hutan Tanaman Rakyat di Kecamatan Moyo Hilir, dan kecamatan Maronge dengan melibakan 4 kelompok tani hutan. Peranan pemerintah daerah sangat sentral. Sebagaimana yang diamanatkan oleh PP No. 6/ 2007 (PP No. 3/ 2008), pemerintah daerah bukan hanya memiliki kewenangan untuk menerbitkan izin pemanfaatan, akan tetapi juga mempunyai kewajiban untuk melakukan fasilitasi bagi pengembangan HKM di wilayahnya, yaitu sejak mulai perencanaan, inisiasi, pendampingan, pengusulan dan sudah barang tentu sampai dengan pembiayaan. Di mata pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kehutananan, peran yang cukup besar seperti itu dipandang wajar, karena pemerintah daerah adalah entitas politik dan administrasi yang secara langsung bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat di daerahnya. Oleh karena itu, program HKM seharusnya bisa dipandang sebagai peluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah sehingga pembiayaan yang dikeluarkan seharusnya dipandang sebagai investasi, bukan cost centre. Akan tetapi faktanya tidak demikian, pemerintah daerah memandang HKM adalah program Kementerian Kehutanan. Oleh karena itu sebagian besar dari mereka memiliki pandangan bahwa pembiayaan program tersebut semestinya disediakan sepenuhnya oleh pemerintah pusat. Kewenangan dan kewajiban sebagaimana yang diamanatkan oleh PP 6/ 2007 nampaknya tidak secara otomatis bisa menggerakkan daerah untuk bersikap proaktif terhadap program HKM , kendatipun secara substansial mereka sering mengakui bahwa kedua program tersebut memberikan peluang yang besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan. Bagi pemerintah daerah, amanat PP 6/ 2007 dan Peraturan-Peraturan Menteri Kehutanan untuk pelaksanaan HKM tidak dipandang memiliki kekuatan hukum yang bersifat struktural. Bagi mereka, kebijakan structural yang dipandang memiliki kekuatan hukum adalah produk kebijakan yang datang dari Kementerian Dalam Negeri dan/atau Presiden. Kebijakan-kebijakan yang secara struktural memiliki kekuatan hukum, pada umumnya akan ditindaklanjuti dengan penyusunan program dan pengalokasian anggaran yang cukup signifikan. C.
C. Penganggaran Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan
Pemberdayaan masyarakat (community empowerment) merupakan satu proses untuk memperkuat kapasitas masyarakat setempat sehingga mampu merespon perubahan perubahan lingkungannya, dan mampu secara terus menerus melakukan pembaruan (inovasi) sosial. Oleh karena itu pemberdayaan tidak dapat disamakan dengan proyek-proyek kehutanan yang hanya bersifat fisik dan temporer (seperti proyek penanaman atau rehabilitasi hutan). Suatu proses pemberdayaan masyarakat memerlukan strategi dan pendekatan spesifik, dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Selain itu kegiatan pemberdayaan masyarakat membutuhkan investasi sumberdaya (finansial) yang memadai untuk dapat melakukan kegiatan pengorganisasian masyarakat, penguatan kapasitas, dan pendampingan intensif sehingga mereka menjadi betul-betul mampu mengelola program secara berkelanjutan. Dalam konteks pelaksanaan HKM, pembiayaan yang dibutuhkan berkaitan dengan aspek pengorganisasian, penguatan kapasitas masyarakat melalui pelatihan pelatihan, memfasilitasi penyusunan rencana, penyusunan usulan, dan mengurus perizinan (hak kelola) HKM. Berdasarkan usulan pelaksanaan program perencanaan dan pengembangan hutan kemasyarakatan di Kabupaten Sumbawa pada tahun 2014 DPRD Kabupaten Sumbawa telah mengganggarkan pembiayaan fasilitasi HKM sebesar Rp. 2.395.000.000 Dari biaya ini diharapkan tercapainya rehabilitasi hutan dan lahan dan teribatnya masyarakat sekitar dalam pengelolan Hutan Kemasyarakatan (HKM) serta tercapainya pengelolaan sumber benih kehutanan. Berangkat dari gambaran sebagaimana yang telah dipaparkan di muka, maka program pemberdayaan masyarakat desa hutan yang dalam implementasinya dilakukan melalui skema hutan kemasyarakatan pada dasarnya adalah program strategis yang memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam pencapaian target MDG dan pemenuhan komitmen pemerintah Indonesia dalam rangka penurunan emisi. Pencapaian target pembangunan hutan kemasyarakatan sebesar 5,5 juta ha sampai dengan tahun 2020, sedikitnya akan bisa menciptakan sumber pendapatan bagi 50% masyarakat miskin desa hutan sekaligus memberikan kontribusi bagi target penurunan emisi di sektor kehutanan sebesar 14%. Atas dasar itu, maka perbaikan kinerja program hutan kemasyarakatan dipandang sebagai langkah strategis yang perlu segera dilakukan. Untuk mendukung pencapaian target HKM , maka alokasi anggaran dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam jumlah yang memadai atau mencukup dan secara langsung diarahkan untuk pelaksanaan HKM mutlak diperlukan.
Salamuddin Maula
Ketua Fraksi Bintang Keadilan DPRD Kabupaten Sumbawa